LAPORAN MEMBACA BUKU
“NEGERI 5 MENARA”
KARYA
AHMAD FUADI
LUTHVIANI SAFITRI
NIS. 1972
X MIPA-6
SMA NEGERI 10 SAMARINDA
2014
Laporan Buku
Judul Buku : Negeri
5 Menara
Nama Pengarang : Ahmad Fuadi
Nama Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2012
Jumlah Halaman : 425
halaman
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkat, rahmat serta karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan laporan
ini.
Saya merasa sangat beruntung karena memiliki orang tua, guru, serta
teman-teman yang rajin menghembuskan semangat agar saya menyelesaikan tugas ini
dengan sebaik-baiknya. Mereka adalah pihak-pihak yang berperan penting dalam
penyelesaian tugas ini. Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Ibunda Sri Supadmi dan ayahanda Subiyanto yang telah memberikan doa dan
dukungan sehingga laporan ini dapat terselesaikan secara maksimal;
2.
Pak Masrani M.Pd, sebagai guru pembimbing mata pelajaran Bahasa Indonesia
yang telah banyak membimbing, serta memberikan kritik dan saran, sehingga pembuatan laporan ini dapat berjalan lancar;
3.
Teman-teman yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberi tanggapan
serta kritik dan saran dalam pembuatan laporan ini. Sehingga laporan ini dapat
selesai dengan baik..
Sekali lagi terima kasih buat orang-orang baik di atas yang telah banyak
membantu saya dalam mengerjakan tugas ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca. Saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
agar berguna dalam penulisan laporan selanjutnya.
Samarinda, 29 November 2014
Penulis
Daftar Isi
LAPORAN BUKU........................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................... iii
PENDAHULUAN........................................................................ 1
URAIAN...................................................................................... 2
KESIMPULAN.......................................................................... 15
PENUTUP................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................ 18
LAMPIRAN............................................................................... 19
Pendahuluan
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, kita dapat menyelami segala hal yang
berkaitan dengan kebahasaan, sastra serta yang lainnya.
Pada kesempatan kali ini, saya akan mengulas segala hal dari novel “Negeri
5 Menara”. Novel karya Ahmad Fuadi ini merupakan novel yang sangat menarik.
Novel ini menceritakan tentang kehidupan pesantren yang dibalut dengan nuansa
religi dan modernisasi. Novel ini berlatarbelakang tentang mimpi para santri
yang di dukung oleh sebuah mantra yang sangat dahsyat, mantra yang dapat menggetarkan
jiwa dan memotivasi diri untuk terus berusaha dan sangat inspiratif bagi para
pembaca, yaitu “Man Jadda Wajada” yang berarti “Siapa yang bersungguh-sungguh
akan berhasil”.
Novel ini juga menceritakan bagaimana dan seperti apa kehidupan di suatu
pesantren, yakni Pesantren Madani. Kehidupan pesantren yang berpegang teguh
pada aturan menjadikan para santri yang mengenyam pendidikan disana harus
memiliki kedisplinan yang tinggi. Karena, jika diketahui adanya pelanggaran
sedikit saja, maka dengan tegas, hukum
lah yang bertindak. Tidak peduli apakah yang bersangkutan adalah santri yang
junior ataupun yang senior, mereka akan dihukum sesuai pelanggaran yang
dilakukannya. Hukuman yang paling ringan adalah dengan di beri tugas menjadi
jasus (mata-mata) untuk menegakkan ketertiban dan kedisplinan di PM dan yang
paling berat adalah dipulangkan.
Bagaimana kah perjalanan mereka ke
ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu mereka? Apa pengalaman
mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai? Bagaimana sampai ada yang
kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius? Siapa Princess of Madani yang mereka
kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak seperti seorang shaolin? Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para
pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogi.
Uraian
Ø GAMBARAN KASUS
v Alif Fikhri adalah seorang
anak dari keluarga sederhana yang tinggal di Bayur, kampung kecil di dekat
Danau Maninjau Padang, Sumatera Barat. Alif masih memiliki keturunan darah
ulama. Sejak kecil, Alif telah bercita-cita menjadi seorang insinyur. Tokoh
idolanya adalah B.J. Habibie. Alif juga mempunyai dua orang Adik, yaitu Laili
dan Safya.
1. “...Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie.
Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri...” (Hal. 8)
2. “Waang akan pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang
besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.” (Hal. 9)
3. “Setelah merangkul Laili dan Safya,
dua adikku yang masih di SD, aku berjalan tidak menoleh lagi. Kutinggalkan
rumah kayu kontrakan kami di tengah hamparan sawah yang baru ditanami itu.
Selamat tinggal Bayur, kampung kecil yang permai. Halaman depan kami Danau
Maninjau yang berkilau-kilau, kebun belakang kami bukit hijau berbaris.” (Hal.
15)
v Setelah menyelesaikan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah- yaitu sekolah
agama setingkat SMP, Alif berencana untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang
lebih tinggi, yaitu SMA(Sekolah Menengah Pertama) di Bukittinggi. Namun,
keinginan dan cita-citanya tersebut terhalang dengan keinginan orang tuanya,
Amaknya (atau yang berarti ibunya dalam bahasa Minang) tidak setuju dengan
keinginan Alif untuk masuk SMA, ibunya ingin Alif melanjutkan pendidikan di
sekolah yang masih berkaitan dengan agama, karena ibunya ingin agar Alif
menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas, seperti
Buya Hamka yang sekampung dengan mereka.
1.
“Amak ingin anak laki-laki ku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat
dengan pengetahuan yang luas. Seperti Buya Hamka yang sekampung dengan kita
itu. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan
meninggalkan kemungkaran,” kata Amak pelan-pelan. (Hal. 8)
2.
“Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karena
uang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah.” (Hal. 8)
3.
“Amak ingin memberikan anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas
mulia untuk akhirat.” (Hal. 9)
v Awalnya Alif memberontak. Bahkan Ia mengurung diri di dalam kamar selama
beberapa hari. Ia kesal karena cita-citanya di tentang oleh ibunya. Tetapi
karena Alif tidak ingin mengecewakan harapan orang tua khususnya ibu, Alif pun
menjalankan keinginan ibunya dan masuk pondok pesantren Di Jawa Timur, Bernama
Pondok Pesantren Madani atau PM. Atas saran dari Pak Etek Gindo (pamannya) di
Kairo.
1.
“Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi
insinyur dan ahli ekonomi,” tangkisku sengit. (Hal. 9)
2.
“Kekesalan karena cita-citaku ditentang Amak ini berbenturan dengan rasa
tidak tega melawan kehendak beliau. Kasih sayang Amak tak terperikan kepadaku
dan adik-adik. Walau sibuk mengoreksi tugas kelasnya, beliau selalu menyediakan
waktu; membaca buku, mendengar celoteh kami dan menemani belajar.” (Hal. 11)
3.
“Di tengah gelap, aku terus bertanya-tanya kenapa orang tua harus mengatur-atur
anak yang baru belajar punya cita-cita ? Kenapa masa depan harus diatur
orangtua ? Aku bertekad melawan keinginan Amak dengan gaya diam dan mogok di
dalam kamar gelap. Keluar hanya untuk buang air dan mengambil sepiring nasi
untuk dimakan di kamar lagi.” (Hal. 11)
4.
“Amak, kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin masuk pondok saja di
Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang,” kataku di mulut pintu. (Hal. 12)
v Ayah dan Amak yang mendengar keputusan mendadak itu sontak terkejut. Mereka,
terutama Amak tidak menyangka akan keputusan Alif yang sangat mendadak itu.
Ayah dan Amak segera berunding tentang
hal itu. Setelah berunding beberapa saat, akhirnya Amak dan Ayahnya merestui
Alif untuk menempuh pendidikan disana, meskipun dengan berat hati.
1.
“Amak yang sedang menyiram pot bunga suplir di ruang tamu ternganga kaget.
Ceret airnya miring dan menyerakkan di lantai kayu. Ayah yang biasa hanya
melirik sekilas dari balik koran haluan, kali ini menurunkan koran dan
melipatnya cepat-cepat. Dia mengangkat telunjuk ke atas tanpa suara, menyuruhku
menunggu. Mereka berdua duduk berbisik-bisik sambil ekor mata mereka melihatku
yang masih mematung di depan pintu kamar. Hanya sas-ses-sis-sus yang
bisa kudengar.” (Hal. 13)
2.
Ayah dan amak menggangguk dan mereka kembali berdiskusi dengan suara
rendah. Setelah beberapa saat, Ayah akhirnya angkat bicara. “Kalau itu memang
maumu, kami lepas waang dengan berat hati.” (Hal.13)
v Setelah keputusan Alif direstui, Alif dan Ayahnya segera menuju ke Pulau
Jawa menggunakan sebuah bus. Selanjutnya mereka menyeberangi Selat Sunda dengan
menggunakan kapal ferry. Setelah sampai di dermaga, mereka segera melanjutkan
perjalanan menggunakan bus menuju ke Jawa Timur, tempat dimana Pondok Madani
itu berada.
1.
“Kita naik bus saja ke Jawa besok pagi,” kata Ayah yang akan mengantarku.
(Hal. 14)
2.
“Bersama Ayah, aku menumpang bus kecil Harmonis yang terkentut-kentut
merayapi kelok Ampek Puluah Ampek. Jalan mendaki dengan dengan 44 kelok patah...” (Hal. 15)
3.
“Pegangan yang kuat!” teriak laki-laki bercambang lebar dengan seragam
kelasi kepada penumpang ferry raksasa yang aku tumpangi. (Hal. 22)
4.
Dengan senyum lebar yang memperlihatkan sebaris gigi putih, dia menyapa
Ayah, “Assalamualaikum Pak. Saya ismail siswa kelas enam PM atau Pondok Madani.
Bapak mau mengantar anak sekolah ke Madani?” Ayah mengangguk. “Baik Pak, tolong
ikuti saya...” Dengan sigap dia mengangkat tas dan kardus kami lalu
mengikatkannya di atap bus biru PM Transport. Sejenak kemudian kami telah
menembus persawahan yang menghijau, disupiri oleh Ismail.
v Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan
“mantera” sakti man jadda wajada.
Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Dia bersama ribuan murid lainnya
seakan tersihir oleh mantera tersebut.
1. “Man jadda wajada!” (Hal.
40)
2. Dengan wajah berseri-seri dan senyum sepuluh senti menyilang di wajahnya,
laki-laki ini hilir mudik diantara bangku-bangku murid baru, mengulang-ulang
mantera ajaib ini di depan kami bertiga puluh. setiap dia berteriak, kami
menyalak balik dengan kata yang sama, man jadda wajada. Mantera ajaib berbahasa
Arab ini bermakna tegas: “Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil!”. (Hal.
41)
3. “Selain kelas kami, puluhan kelas lain juga demikian. Masing-masing
dikomandoi seorang kondaktur yang energik, menyalakkan “man jadda wajada”.
Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut-sahutan dan bertalu-talu. Koor
ini bergelombang seperti guruh di musim hujan, menyesaki udara pagi di sebuah
desa terpencil di udik Ponorogo.” (Hal.40)
v Pekan Perkenalan siswa PM. Alif dan teman-temannya berbondong-bondong
memenuhi aula. Kiai Rais almukarram sebagai pemimpin Pondok Madani memberikan
pidato singkat sebagai pembuka Pekan Perkenalan Siswa tersebut. Ia dijuluki
sebagai Sang Rennaissance Man yaitu pribadi yang tercerahkan karena aneka ragam
ilmu dan kegiatannya.
1.
“Marhaban. Selamat datang anak-anakku para pencari ilmu. Welcome. Selamat
datang. Bien venue. Saya selaku rais ma’had-pimpinan pondok-dan para guru di
sini dengan sangat bahagia menyambut kedatangan anak-anak baru kami untuk ikut
menutut ilmu di sini. Terima kasih ata kepercayaannya, semoga kalian betah.
Mulai sekarang kalian semua adalah dari keluarga besar PM,” Kiai Rais membuka
sambutannya. Suaranya dalam menenangkan. (Hal. 49)
2.
“Assalamualaikum,” tutupnya. Pidatonya sangat singkat. Semua orang memberi
tepuk tangan bergemuruh.
Aku menyikut Raja. “Singkat
sekali, mana petuah seorang kiai,” tanyaku.
“Tenang bos. Kata buku ini
Kiai Rais itu seperti “mata air ilmu”. Mengalir terus. Dalam seminggu ini pasti
kita akan mendengar dia memberi petuah berkali-kali,” jawab Raja penuh harap.
(Hal. 49)
v Kehidupan pesantren yang
berpegang teguh pada aturan menjadikan para santri yang mengenyam pendidikan
disana harus memiliki kedisplinan yang tinggi. Karena, jika diketahui adanya
pelanggaran sedikit saja, maka dengan tegas,
hukum lah yang bertindak. Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan
Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung
dan Baso dari Gowa. Di bawah menara
masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan
lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka,
awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing.
1. “Maaf... maaf... Kak, kami
terlambat. Tapi hanya sedikit kak, 5 menit saja. Karena harus membawa lemari
yang berat ini dari lapangan...”
“Sudah berapa lama kalian
resmi jadi murid di PM?” katanya memotong kalimatku.
“Dua... dua... hari Kak,”
jawabku terbata-bata.
“Baru dua hari sudah
melanggar. Bukankah kemarin malam qanun dibacakan dan kalian tahu tidak boleh terlambat.”
Kami membisu, tidak bisa menjawab. Hanya
napas kami yang naik turun terdengar berserabutan.
“”Kalian sekarang di
Madani, tidak ada istilah terlambat sedikit. 1 menit atau 1 jam, terlambat
adalah terlambat. Ini pelanggaran. (Hal. 60)
2. “Jewer kuping teman
sebelahmu sekuat aku menjewermu!”
Belum dia selesai, aku
telah menjewer kuping Atang, sementara Atang menjewer kuping Said. Selanjutnya
Said memegang kuping Raja yang memegang kuping Dulmajid yang memegang kuping
Baso. Semakin kencang jeweran yang kuterima, semakin kencang aku menjewer Atang
dan semakin ganas Atang menjewer Said, begitu seterusnya. Sementara itu yang
paling ujung, Baso yang malang, tidak punya mitra untuk saling jewer menjewer,
dia hanya meringis-ringis tanpa bisa melampiaskan kesumatnya. Dengan sudut mata
aku liat dia akhirnya menjewer pintu lemarinya yang keras. (Hal. 67-68)
3. “Akhi. Kalian berenam,
coba dengar. Awal dari kekacauan hukum adalah ketika orang meremehkan aturan dan
tidak adanya penegakkan hukum. Di sini lain. Semua kesalahan pasti dibayar
dengan hukuman. Sebagai murid baru, kalian harus mencamkan prinsip ini ke dalam
hati. Karena itu, setelah mempertibangkan kesalahan kalian, mahkamah ini akan
menambah hukuman supaya kalian jera,” kata Tyson dengan suara serius. (Hal. 74)
4. ”Saking seringnya kami
berkumpul di kaki menara, kawan-kawan lain menggelari kami dengan Sahibul
Menara, orang yang punya menara.... Kami senang saja menerima julukan itu.
Bahkan Said kemudian punya ide untuk membuat kata sandi setiap orang. Said kami
sebut menara 1, Raja menara 2, aku menara 3, Atang menara 4, Dulmajid menara 5,
dan Baso menara 6.” (Hal. 95)
5. ”Sebuah menara dan sebuah
senja! Suasana dan pemandangan yang terasa sangat lekat di hatiku. Belasan
tahun lalu, di samping menara masjid PM, kami kerap menengadah ke langit
menjelang sore, berebut menceritakan impian-impian gila kami yang setinggi
langit: Arab Saudi, Mesir, Eropa, Amerika dan Indonesia. Aku tergetar mengingat
segala kebetulan-kebetulan ajaib ini.” (Hal. 402)
v Selain teman-teman di
pondok, Alif juga mempunyai seorang kawan lama bernama Randai. Ia adalah teman
Alif sejak kecil bahkan ia dan Alif bercita-cita ingin melanjutkan ke SMA yang
sama. Tetapi kenyataannya hanya Randai yang dapat merealisasikan mimpi
tersebut, karena Alif melanjutkan sekolah ke Pondok Madani. Karena Randai
melanjutkan sekolah di SMA, ia bercerita pengalaman-pengalamannya kepada Alif
melalui surat. Yang secara tidak langsung ingin membuat Alif merasa iri. Alif
yang masih belum melupakan mimpi lamanya itu sedikit-sedikit mulai terpengaruh,
hati Alif mulai goyah dan pikirannya tidak tenang.
1. “Alhamdulillah sesuai cita-cita aku diterima di SMA Bukittinggi. Sekarang
aku sedang mapras-masa perkenalan siswa. Kau tahu Lif, ternyata “keindahan” SMA
yang kita bayangkan tidak ada apa-apanya dengan yang sebenarnya. SMA
benar-benar tempat yang menyenangkan untuk belajar dan bergaul...
Di acara mapras ini kita
diperkenalkan dengan berbagai macam ekskul yang hebat-hebat. Kamu belum pernah
lihat komputer kan? Nah disini semua murid ikut belajar komputer karena
sekolahku baru membuat lab komputer yang paling modern di kota kita. Senangnya.
Ternyata komputer tidak hanya ada di film saja, ternyata disekolahku pun ada.
... Luar biasa kawan.
Semoga keputusan kau ke Jawa itu benar. Kalau tidak, cepatlah kembali, mungkin
kamu masih bisa di terima di SMA ini.” (Hal. 101-102)
2.
“Sudah beberapa hari ini aku merasa seperti ada batu yang menekan dadaku.
Awalnya aku tidak tahu apa penyebabnya. Tapi tekanan di dada ini semakin terasa
setiap aku melihat sampul surat Randai di atas lemariku. Surat ini mempengaruhi
perasaanku lebih besar dari yang aku kira. Badanku terasa lesu dan aku jadi
malas bicara.” (Hal 104)
3.
“Alif, syukur ALHAMDULILLAH, aku telah DITERIMA di TEKNIK MESIN ITB, persis
seperti yang aku harapkan. Sekolahnya Bung Karno dan Pak Habibie....” (Hal.
310)
4.
“Dan sekam yang tidak pernah pudur dalam 3 tahun ini akhirnya meletik-letik
dan menyala menjadi api. Ada iri yang meronta-ronta di dadaku. Semua yang di
dapat Randai adalah mimpiku juga. Mahasiswa ITB dan bercita-cita menjadi
Habibie. Kini kawanku mendapatkan semuanya kontan. Sedangkan aku masih harus
mengangsur 1 tahun lagi sebagai murid kelas 6 di PM.” (Hal. 311)
v Di Pondok Pesantren Madani
ujian disambut dengan sangat istimewa. Mulai dari ujian biasa (yang dilaksanakan
secara maraton sepanjang 15 hari) sampai ujian akhir kelas enam. Semua disambut
bagai pesta akbar, riuh dan semarak. Diskusi dan belajar bersama terjadi
dimana-mana. Sungguh indah dan elektrik. Semuanya bergerak mengikuti pesta ini
dengan antusias. Mereka juga berusaha untuk melaksanakan Sahirul Lail, yaitu
bergadang dan bangun malam untuk belajar.
Para guru juga berperan aktif. Mereka di suruh oleh Kiai Rais untuk
menjawab pertanyaan apa saja tentang mata pelajaran apapun serta membangunkan yang
tertidur di jam belajar.
1.
”Bagi kami berenam, yang memutuskan belajar bersama di aula, kehadiran guru
ini kesempatan emas untuk mendapatkan keterangan lengkap, terinci, personal,
one on one. Tinggal panggil, “Tad..tad....afwan, tolong terangin bab ini
apa maksudnya?” lalu dengan penuh dedikasi si ustad duduk disebelahku,
menguraikan dengan baik jawabannya...” (Hal. 192)
2.
“Aku layangkan pandanganku ke aula di seberang Al-Barq. Jam 2 malam, aula
ini sudah ramai seperti pasar subuh! Puluhan lampu semprong berkelap-kelip di
atas setiap meja pasukan sahirul lail. Ketika angin berhembus, mata apinya
serempak menari-nari seperti kunang-kunang.” (Hal. 198)
3.
“Said menyorongkan gelas besar dan semangkuk makrunah, “Ya akhi,
ngopi dulu supaya tidak ngantuk.” Itulah enaknya punya teman seperti Said yang
sering dapat wesel. Konsumsi ditanggung banyak.” (Hal. 198)
v Banyak sekali hal-hal
menarik yang terjadi di PM. Diantaranya Sarah yang menjadi Putri di Madani.
Para santri berusaha sekuat tenaga hanya untuk dapat melihat Sarah, menyapa,
atau bahkan berkenalan dengannya. Segala hal tentang Sarah selalu menjadi
berita terhangat. Bahkan bagi sahibul menara. Selain itu peristiwa pencurian
sapi yang menghebohkan PM. Dua orang pencuri berhasil ditangkap. Yang secara
tidak langsung melibatkan Alif, Dulmajid dan tim elit Tapak Madani.
1. “Saya baru dapat info kalau kita akan punya warga baru yang istimewa di
sini. Seorang gadis caaaantik.” Kata cantik di ungkapkannya dengan
hiperbolik...” (Hal. 229)
2. “Nah ini yang kalian tak tahu. Telah jadi legenda di kalangan kakak kelas
bahwa ustad ini punya anak gadis cantik yang tidak jauh umurnya dengan kita.”
“Wah”
“Iya, jadi gosipnya kita akan punya “putri” di sini.” (Hal. 229)
3. “Nama tuan putri itu Sarah,” katanya puas dengan imbalan yang dia dapat
dari informasi ini. (Hal. 230)
4. “Aku biasanya tidak banyak bicara. Apalagi memang tidak banyak yang bisa
aku ceritakan tentang hal ini. Tapi nama Sarah yang bersenandung itu membuat
aku memberanikan diri berkata, “Kalau aku ingin berkenlan dengan Sarah,”
kataku.” (Hal. 232)
5. “Sarah adalah idaman semua orang. Dan dia berada di tempat yang paling
tidak bisa ditembus. Bapaknya, Ustad Khalid adalah salah seorang guru yang paling tegas dan disegani. Bagaimana mungkin
kau akan bisa?” tanya Raja. (Hal. 232-233)
6. “Bukan dia saja yang iri. Kami semua, bahkan semua penduduk PM melihat
siapa saja yang beruntung melihat penampakan Sarah dengan penuh benci dan iri.
Kok bisa mereka seberuntung itu. Walau penuh dengan benci dan iri, kami tetap
dengan antusias duduk melingkar mendengarkan si Dulmajid yang sekarang
mengulang detik-detik dia melihat Sarah. Walau dalam senyatanya memang hanya
hitungan beberapa detik. Sekelebat saja.” (Hal. 236)
7. “Tepat jam 10 malam, aku dan Dulmajid sampai di lokasi kami, sebuah tempat
gelap di ujung barat PM.”(Hal. 241)
8. “Oke kawan, aku siap melawan dedemit Sungai Bambu sekarang,” katanya penuh
dengan percaya diri. (Hal. 242)
9. “Tangannya bergerak cepat memilin kuping kami. “Amanah menjaga PM kalian
sia-siakan. Sampai ketemu di mahkamah besok!” katanya dengan desis murka sambil
berlalu dengan sepeda hitamnya ke dalam gelap malam. Ah, alamat aku menjadi
jasus lagi. Kantukku tiba-tiba punah.” (Hal. 245)
10. “Aku sedang berdiri
meregangkan badanku yang kesemutan ketika dari hulu sungai kami mendengar suara
orang berteriak-teriak dan bunyi kaki mendekat ke arah kami. Tapi sungai
benar-benar gulita, kami tidak dapat melihat apa-apa yang terjadi...” (Hal.
246)
11. “CEPAT MENYERAH!!! Kau
sudah kami kepung!” hardik Ustad Khaidir. Tangannya mengibas ke arahku.,
menyuruh menjauh. (Hal. 248)
12. “Syukran ya akhi, telah menahan
dia untuk lari. Kalian bebas dari mahkamah, kesalahan tidur di maafkan,”
katanya. Kali ini dengan nada bersahabat. Dia mengulurkan tangan. Mungkin untuk
menghargai usaha kami. Aku jabat dengan ragu-ragu. Cincin kuningannya terasa
dingi di telapakku. (Hal. 249)
13. “Seminggu kemudian, sebuah
kejutan indah datang. Kami bertiga dan tim elit Tapak Madani dipanggil ke rumah
Kiai Rais. Kami dianugerahi selembar piagam penghargaan atas dedikasi kepada
PM. Sungguh membanggakan menerima piagam langsung dari tangan Kiai Rais dan
berfoto bersama beliau.”
v Saat kelas enam, Alif dan
teman-temannya mempunyai tugas yang sangat besar. Yaitu mempersembahkan
pagelaran multi seni terhebat yang bisa mereka produksi kepada almamater
tercinta. Mereka harus membuktikan bahwa mereka tidak kalah dengan kelas enam
tahun lalu. Acara megah ini sangat di nanti-nantikan oleh ribuan penonton.
Bahkan karena mempersiapkan acara ini, Alif, Atang, Said mendapatkan hukuman.
Yaitu di botaki karena telah melanggar aturan.
1.
“Akhi, tugas berat kita adalah bagaimana membuat panggung yang lain dari
sebelumnya dan tidak terlupakan seumur hidup,” kata Said yang naju ke depan
tanpa diminta. (Hal. 338)
2.
“Aku punya ide,” kata Atang menggebu-gebu, seminggu sebelum hari H. “Jadi
kawan-kawan, aku ingin membuat teater yang panggungnya tidak terbatas di
panggung depan, tapi panggungnya adalah tempat duduk penonton...” (Hal. 340)
3.
“Sialnya, telah tiga apotik yang telah kami datangi, semua apotekernya
selalu menggeleng, “kami tidak menjual karbon dioksida padat”. Mereka menyuruh
kami ke Surabaya untuk membeli barang ini. Kami berpandang-pandangan.
Persoalannya kami hanya diberi izin pergi sebentar hanya untuk tujuan ke
Ponorogo...” (Hal. 343)
4.
Dengan nada dan tatapan dinginnya, Ustad Torik memotong. “Itu bukan alasan.
Menunggu sampai pagi pun masih bisa. Kalian sudah tahu aturan adalah aturan.
Semua yang ikut ke Surabaya saya tunggu di kantor. SEKARANG JUGA.” (Hal. 351)
5.
“Dan, tiba-tiba benda sedingin es segera menyentuh kudukku, membuat aku
merinding di kuduk dan tangan. Dan crik... crik... crik... dengan lapar sebuah
gunting memangkas rambutku...” (Hal. 353)
6.
“Said yang telah berhasil menemukan optimisme normalnya lalu menggamit kami
berdua. “Ya akhi, sebelum ke asrama, kita ke studio foto dulu yuk. Kapan lagi
tiga orang berkepala shaolin berfoto pakai sarung.” Said memang selalu tahu
bagaimana mengambil sisi positif dari setiap bencana.”
v Setelah kelulusan, mereka
menjalani kehidupannya masing-masing. Mereka menempuh kehidupan baru yang telah
menjadi impian mereka. Sesuai dengan cita-cita masing-masing. Ada yang pergi
melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi di Jawa, dll. Usaha dan kerja keras
telah menghantarkan mereka kepada kesuksesan. Mereka menjalani impian mereka di
London, Amerika, Arab Saudi, Indonesia, dll.
1.
“Ternyata ini dia Nelson’s column
yang disebut-sebut di buku reading kita waktu kelas tiga dulu. Lebih besar dan
lebih tinggi dari yang aku bayangkan.” (Hal. 402)
2.
Alangkah indah. Senda gurau dan doa kami di bawah menara dulu menjadi
kenyataan. Aku tidak putus-putus membatin, “Terima kasih Allah, Sang Pengabul
Harapan dan Sang Maha Pendengar Doa”.
Kesimpulan
Berdasarkan kisah yang telah saya baca, novel yang berjudul “Negeri 5
Menara” ini menceritakan tentang
perjalanan 6 orang sahabat yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Madani.
Persahabatan mereka berawal sejak mereka di beri hukuman jewer berantai oleh
Tyson. Sejak saat itu mereka sering kumpul bersama dibawah menara masjid,
mereka biasa menunggu Maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak ke
ufuk. Karena terlalu seringnya,
teman-teman mereka menjuluki mereka dengan Sahibul Menara, yaitu orang yang
memiliki menara. Mereka bercita-cita ingin pergi ke Arab Saudi, Mesir, Eropa,
dan bahkan Amerika suatu saat nanti. Tapi ada juga yang ingin tetap di
Indonesia. Banyak sekali cerita menarik yang disuguhkan oleh Ahmad Fuadi di
dalam novel “Negeri 5 Menara” ini.
Novel karya Ahmad Fuadi yang berjumlah 425 halaman ini merupakan novel yang
sangat menarik. Menceritakan kehidupan di Pondok Pesantren Madani yang dibalut
dengan nuansa religi dan modern. Tata bahasanya mudah dipahami, serta tidak
bertele-tele. Cover novelnya juga menarik, di novel ini banyak sekali kata-kata
mutiara yang dicantumkan yang dapat memotivasi serta menyihir para pembacanya
untuk menjadi lebih baik lagi. Kekurangan pada novel ini hanya terletak pada
warna kertas yang kurang cerah serta tidak adanya gambar yang dapat
mengilustrasikan isi dari novel tersebut.
Dengan membaca novel ini, banyak sekali pelajaran hidup atau pun
pesan-pesan moral yang dapat kita ambil, diantaranya adalah pesan mengenai
kehidupan, yaitu kita tidak boleh berputus asa dalam meraih impian, kita harus
bersungguh-sungguh untuk mencapainya, serta berusaha untuk meraih ilmu
setinggi-tingginya, jika perlu sampai ke negeri orang. Karena pada hakikatnya
mencari ilmu adalah hal yang mulia. Orang yang berilmu memiliki derajat yang
lebih tinggi daripada orang yang tidak memiliki ilmu bahkan para pencari ilmu
diberi kedudukan yang lebih istimewa oleh Allah SWT yakni dimudahkannya jalan
menuju surga.
Salah satu pesan yang tidak kalah pentingnya adalah keutamaan doa dan ridha
dari orang tua. Karena dengan doa dan
ridha mereka lah kunci kesuksesan kita, dan tanpanya kita tidak berarti
apa-apa, serta jangan pernah berburuk sangka terhadap apa yang telah Allah SWT
tetapkan kepada kita. Bisa jadi yang kita pikir itu tidak baik untuk kita,
malah menjadi hal yang sangat baik untuk kita. Segala ketetapan yang di
tetapkan oleh Allah SWT itu tidak lah sia-sia. Dia memberikan hal yang tidak
terduga di masa depan. Jadi jangan berburuk sangka kepada Allah SWT, karena
bisa jadi hal itu akan berbuah manis pada akhirnya.
Penutup
Demikian laporan buku yang telah saya buat berdasarkan hasil observasi
terhadap karya tulis berupa novel. Novel ini menceritakan tentang kehidupan di
sebuah pesantren. Dengan membaca serta menghayati setiap kejadian yang terjadi,
maka akan memiliki nilai-nilai positif untuk para pembaca. Terutama arti dari
kehidupan yang sesungguhnya. Yaitu hidup yang berpegang teguh pada usaha dan
keikhlasan. Mengajarkan betapa usaha, keikhlasan, doa dan tawakkal adalah kunci
kesuksesan yang sesungguhnya.
Laporan ini masih jauh dari sempurna. Penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya laporan ini dan penulisan
laporan di kesempatan-kesempatan berikutnya.
Sekian dari penulis. Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya serta
mohon maaf apabila di dalam pembuatan laporan ini masih ada hal-hal yang kurang
berkenan. Semoga laporan ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan pembaca.
Daftar Pustaka
Fuadi, Ahmad. 2012. Negeri
5 Menara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Lampiran
Novel negeri 5 menara ini ada berapa bab kak?
BalasHapusApakah negeri 5 menara itu dibagi beberapa adegan/sub bab ? Saya membutuhkan gambar daftar isi, jika berkenan bisa dikirim ke No. 085872403312
BalasHapus